Rabu, 09 Maret 2011

CARA TIDUR RASULULLAH

Al-Bara’ bin ‘Azib ra. berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yawma tab’atsu ‘ibaadaka (Ya Robbi, peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu).” [HR. At-Tarmidzi]

        Begitulah bunyi hadits diatas merupakan salah satu dari hadits yang berisikan bagaimana Rasulullah SAW melakukan kegiatan tidurnya. maha suci Allah pencipta langit dan seisinya, sebgaimana kita sebagi umat islam dan pengikut baginda Rasulullah SAW hendaknya kita mengikuti apa yang Rasulullah kerjakan salah satunya tata cara tidur. dan segala sesuatu yang Rasulullah contohkan selalu membawa nilai kemanfaatan bagi umatnya.

 CARA TIDUR YANG SEBAIK-BAIKNYA DIAMALKAN OLEH RASULULLAH S.A.W.

1) Tidurlah di awal malam sesudah menunaikan sembahyang Isyak jam 10.00 atau 11.00 dengan keadaan berwuduk.
2) Bangkitlah di awal separuh kedua malam jam 1.00 atau 2.00, kemudian bersugi, berwuduk dan bersembahyang tahajjud.
3) Kemudian tidurlah semula dan bangkitlah sebelum terbit fajar.
4) Tidurlah dengan mengiringkan badan di sebelah rusuk kanan, rusuk kiri di bahagian atas, supaya tetap kedudukan makanan di dalam usus, cepat hadam makanan. Tidurlah sedemikian dari mula hingga akhirnya.

WAKTU-WAKTU YANG TIDAK DIBENARKAN TIDUR

1) Awal-awal pagi setelah terbit matahari.
2) Selepas masuk waktu Asar.
3) Tidur di bawah cahaya matahari walaupun terkena separuh dari badan.

BAHAYA TIDUR DI SIANG HARI

Dilarang tidur di siang hari di dalam keadaan cuaca yang panas kerana:
1) Mendatangkan penyakit-penyakit kulit.
2) Merosakkan warna kulit.
3) Melemahkan jantung.
4) Menambahkan tekanan perasaan yang meluap.
5) Melemahkan badan dan mengurangkan tenaga syahwat.
6) Melemahkan kecerdasaan akal.

CARA MENGHINDARKAN LESU SELEPAS BANGKIT DARI TIDUR

1) Bersihkan tubuh, terutamanya bahagian muka, tangan dan kaki sebelum masuk tidur.
2) Hindarkan dari tidur lewat malam.
3) Lakukan gerak badan dan senaman di atas katil setelah jaga dari tidur sebelum turun dari katil.
4) Minumlah segelas air masak setiap pagi sebelum bersarapan tetapi jangan selepas saja bangun dari tidur.
5) Cucilah muka terutama bahagian kelopak mata dengan air suam.
6) Ambil wuduk dan bersembahyang Subuh.

PEKARA-PEKARA YANG BOLEH MELEMAHKAN TENAGA DAN MEMPERCEPATKAN TUA
1) Terlalu banyak bercita-cita atau berangan-angan.
2) Banyak minum air di waktu pagi.
3) Banyak memakan atau meminum yang seba masam

Hudzaifah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, maka beliau berdoa: Alloohumma bismika amuutu wa ahyaa (Ya Allah, dengan Asma-Mu aku mat dan aku hidup). Dan jika bangun dari tidurnya beliau berdoa: Alhamdu lillaahil-lladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayhin-nusyuur (Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan daku kembali setelah mematikan daku, dan kepada-Nya tempat kembali).” [HR. At-Tarmidzi]

Aisyah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, beliau kumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniup keduanya dan dibaca pada keduanya surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas. Kemudian disapunya seluruh badan yang dapat disapunya dengan kedua tangannya. Beliau mulai dari kepalanya, mukanya dan bagian depan dari badannya. Beliau lakukan hal ini sebanyak tiga kali.” [HR. At-Tarmidzi]

Minggu, 06 Maret 2011

Sudah Shalat Ied Hari Jumat, Apa Masih Wajib Shalat Jumat?

 oleh ust. ahmad sarwat




Masalah ini memang sering ditanyakan, yaitu masihkah kita wajib shalat Jumat kalau pagi harinya kita sudah shalat Ied? Atau dengan kata lain, apakah shalat Idul Fithri atau Iedul Adha yang jatuh di hari Jumat, akan menggugurkan kewajiban shalat Jumat di siang harinya?

Ada tiga jawaban sederhana untuk masalah ini :


Pertama : Haditsnya Dhaif (Lemah)
Sebenarnya hadits yang menyebutkan ada sebagian shahabat dibolehkan tidak ikut shalat Jumat di hari Raya Iedul Fithri dari sisi kekuatan sanadnya masih bermasalah alias dhaif. Banyak pakar hadits yang mendhaifkan hadits ini dan yang semisalnya.

Dan kita tahu bahwa hadits yang bermasalah dari segi kekuatan sanadnya, tidak boleh dijadikan dalil atau hujjah dalam urusan aqidah, syariah, ibadah serta halal-haram.

Masak sih hari gini masih doyan makan hadits dhaif? Apa kata dunia?

Kedua : Nabi dan Para Shahabat Lainnya Tetap Melaksanakan Shalat Jumat

Pada kenyataannya tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat di Madinah hari itu LIBUR dari shalat Jumat. Kalau pun kita terima hadits itu dengan memaksakan kehendak, yang tidak ikut shalat Jumat hanya beberapa orang saja, tidak melibatkan semua shahabat.

Artinya, di Madinah shalat Jumat pada hari Raya Iedul Fithri tetap berlangsung, tidak ada istilah libur atau cuti.

Ketiga : Yang Diberi Keringanan Tidak Shalat Jumat Memang Mereka Yang Pada Hakikatnya Tidak Wajib Shalat Jumat

Ini informasi yang paling penting mengenai adanya izin dari Rasulullah SAW atas sebagian shahabatnya untuk tidak ikut shalat Jumat di hari Raya. Mengapa Beliau SAW membolehkan?

Ternyata kalau kita selidiki lebih jauh, mereka itu memang bukan penduduk Madinah. Mereka ada kaum yang tinggal di luar daerah, bahkan sebagian kalangan menyebut mereka sebagai nomaden yang hidup berpindah-pindah.

Maka secara hukum, bukan hanya pas di hari Jumat yang bertepatan dengan Idul Fithri saja mereka dibolehkan tidak shalat Jumat, tetapi setiap hari Jumat sepanjang tahun memang mereka bukan orang yang diwajibkan shalat Jumat.

Salah satu syarat wajib shalat Jumat adalah status bermuqim, bukan musafir. Dan orang yang nomaden termasuk mereka yang pada dasarnya tidak wajib shalat Jumat.

Jumhur Ulama : Shalat Jumat Tetap Wajib

Jumhur ulama, selain Al-hanabilah, meski ada beberapa dalil hadits, sepakat bahwa shalat Jumat tetap wajib dilakukan, meski hari itu adalah hari raya, baik Idul fithr maupun Idul Adha. Mereka yang secara sengaja meninggalkan shalat Jumat di hari itu, selain berdosa juga wajib melaksanakan shalat Dzhuhur. Sebab dalam pandangan mereka, shalat Jumat tetap wajib hukumnya.

Dalam pandangan mereka, kekuatan dalil-dalil qath`i atas kewajiban untuk melaksanakan shalat Jumat di hari raya tidak bisa dikalahkan oleh dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat. Sebab kewajiban shalat Jumat didasari oleh Al-Quran, As-sunnah dan ijma` seluruh umat Islam.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)

Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :

وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)


Hadits ini menegaskan bahwa yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat hanya hal-hal tersebut. Dan tidak ada dijelaskan bahwa shalat idul fithr dan idul adha berfungsi menggugurkan shalat jumat.

مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ

Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Selain itu, ancaman buat orang yang meninggalan shalat jumat secara sengaja sangat berat. Bentuknya sampai disebut-sebut bahwa Allah akan menutup hati seseorang, sehingga tidak bisa menerima hidayah dari Allah SWT.

لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ

Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan dalil-dalil qath`i di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar.

Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancaman, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.

Sedangkan dalil yang membolehkan sebagian shahabat untuk tidak shalat Jumat dalam kasus itu hanya didasari oleh beberapa hadits, yang sebagiannya tidak shahih, atau setidaknya bermasalah.

Lagi pula kalau dalam kasus itu ada keringanan dari Rasululah SAW kepada sebagian shahabat, ternyata Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakan shalat Jumat. Kalau Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakannya, kenapa harus mengikuti apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat. Bukankah kita ini shalat mengikuti Rasulullah?

a. Pendapat Al-hanafiyah dan Al-Malikiyah

Mewakili pendapat jumhur ulama, para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa suatu shalat tidaklah bisa menggantikan shalat yang lainnya dan sesungguhnya setiap dari shalat itu tetap dituntut untuk dilakukan.

Suatu shalat tidaklah bisa menggantikan suatu shalat lainnya bahkan tidak diperbolehkan menggabungkan (jama’) diantara keduanya. Sesungguhnya jama’ adalah keringanan khusus terhadap shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya.

b. Pendapat As-Syafi`iyah

Mewakili juga kalangan jumhur ulama, mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa kebolehan tidak shalat Jumat itu hanya berlaku khusus buat penduduk suatu kampung yang jumlahnya tidak mencukupi angka 40 orang.

Selain itu, orang yang tinggal di tempat terpencil jauh dari peradaban dan tidak mendengar adzan jumat, juga tidak wajib shalat Jumat. tapi mereka yang mendengar suara adzan dari negeri lain yang disana dilaksanakan shalat jum’at maka hendaklah berangkat untuk shalat jum’at.

Dalil mereka adalah perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al ‘Aliyah—Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur—yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.

Shalat Jumat Tidak Wajib : Pendapat Menyendiri dari Al-Hanabilah

Mazhab ini menyimpulkan bahwa shalat Jumat gugur apabila pada pagi harinya seseorang telah melaksanakan shalat `Ied.

Dalil yang mereka kemukakan ada beberapa hadits, antara lain :

أن زيد بن أرقم شهد مع الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ عيدين اجتمعا فصلى العيد أول النهار ثم رخص في الجمعة وقال: " من شاء أن يجمع فليجمع" في إسناده مجهول فهو حديث ضعيف.

Bahwa Zaid bin Arqam menyaksikan bersama Rasulullah SAW dua hari raya (Ied dan Jumat), beliau shalat Ied di pagi hari kemudian memberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat dan bersabda,"Siapa yang mau menggabungkan silahkan. (HR. Ahmad Abu Daud Ibnu Majah dan An-Nasai)

Hadits ini isnadnya majhul dan merupakan hadits yang dhaif (lemah).

عن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: "قد اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مُجَمّعُون" رواه أبو داود

Dari Abu Huraiah RA bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”(HR. Abu Daud)

Terdapat catatan didalam sanadnya. Sementara Ahmad bin Hambal membenarkan bahwa hadits ini mursal, yaitu tidak terdapat sahabat di dalamnya.

Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat id maka tidak lagi ada kewajiban atasnya shalat jum’at. Namun pandangan ini tetap mewajibkan seorang imam untuk tetap melaksanakan shalat Jumat, jika terdapat jumlah orang yang cukup untuk sahnya suatu shalat jum’at. Adapun jika tidak terdapat jumlah yang memadai maka tidak diwajibkan untuk shalat jum’at.

Kesimpulan :

1. Kebolehan tidak shalat Jumat lantaran jatuh pada hari raya Idul Fithr atau Idul Adha adalah pendapat satu mazhab yaitu mazhab Imam Ahmad. Selebihnya, mayoritas ulama, seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah, tetap mewajibkan shalat Jumat.

2. Seandainya ada saudara kita yang kelihatan cenderung kepada pendapat Al-Hanabilah yang menganggap shalat Jumat telah gugur, kita perlu menghormati hal itu sebagai sebuah pendapat. Beda pendapat itu bukan berarti kita harus bermusuhan kepada mereka.

3. Pendapat mayoritas ulama termasuk di dalamnya Asy-Syafi`iyah yang tetap mewajibkan shalat Jumat, menurut pandangan saya -wallahu a`lam- lebih kuat, selain karena pendapat mayoritas ulama, juga karena beberapa alasan :

    a. Dalil tentang wajibnya shalat Jumat adalah dalil yang bersifat Qath`i, didukung oleh Quran, Sunnah yang shahih dan ijma` seluruh umat Islam sepanjang 14 abad.

    b. Dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat adalah dalil yang hanya didasari oleh beberapa hadits saja.

    c. Bila ada dua kelompok dalil yang bertentangan, maka kebiasaan para ulama adalah mencari titik temu keduanya. Dan dalam pandangan saya, titik temunya adalah bahwa yang diberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat adalah mereka yang tinggal di luar kota Madinah. Dimana pada dasarnya, di luar momentum hari Raya sekalipun, mereka memang sudah tidak wajib shalat Jumat.

Dan karena pada hari raya mereka masuk ke kota dan ikut shalat Id, maka kalau siangnya mereka tidak mau ikut shalat Jumat, tentu tidak mengapa. Karena mereka itu pada hakikatnya bukan termasuk orang yang muqim di kota Madinah. Mereka adalah penduduk bawadi (tempat yang tidak dihuni manusia).

Sedangkan kita yang memang penduduk yang bermukim di tempat yang dihuni manusia, sejak awal memang sudah wajib untuk melaksanakan shalat Jumat. Sehingga kalau dalil-dali kebolehan tidak shalat Jumat di atas mau dipakai untuk kita, ada perbedaan konteks.

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Rabu, 02 Maret 2011

APA YANG MENGHALANGIMU UNTUK BELUM BERHIJAB WAHAI SAUDARIKU

Hijab adalah pakaian wanita muslim yang menutup bagian kepala sampai dengan kaki (termasuk didalamnya jilbab/tudung dan pakaian yang longgar tidak memperlihatkan lekuk tubuh). Bagi orang awam, masalah hijab mungkin dianggap masalah sederhana. Padahal sesungguhnya, ia adalah masalah besar. Karena ia adalah perintah Allah SWT yang tentu didalamnya mengandung hikmah yang banyak dan sangat besar. Ketika Allah SWT memerintahkan kita suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu adalah untuk kebaikan kita dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.

Seperti firman Allah SWT: "Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggunya.(QS. Al Ahzab:59)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, diatas kepala mereka (terdapat suatu) seperti punuk onta yg lemah gemulai. Laknatlah mereka! Sesunggunya mereka adalah wanita -wanita terlaknat."(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad(2/33))

Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah bersabda: “Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."(HR. Muslim, hadits no. 2128).

Dimasa kini banyak alasan atau sebab yang sering dijadikan alasan mengapa para wanita enggan untuk berhijab, diantaranya:

1. Belum mantap
Bila ukhti/saudari berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia. Selagi masih dalam perintah manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerimanya. Tapi bila perintah itu dari Allah SWT tidak ada alasan bagi manusia untuk mengatakan saya belum mantap, karena bisa menyeret manusia pada bahaya besar yaitu keluar dari agama Allah SWT sebab dengan begitu ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut.

Allah SWT berfirman Allah: "Dan tidak patut bagi lelaki mukmin dan wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

2. Iman itu letaknya di hati bukan dalam penampilan luar
Para ukhti/saudari yang belum berhijab berusaha menafsirkan hadist, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam: “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.”(HR. Muslim, Hadist no. 2564 dari Abu Hurairah).

Tampaknya mereka menggugurkan makna sebenarnya yang dibelokkan pada kebathilan. Memang benar Iman itu letaknya dihati tapi Iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. Iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapat Surga. Karena definisi Iman Menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah: "keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan". Dan juga tercantum dalam Al-Quran setiap kali disebut kata Iman, selalu disertai dengan amal, seperti: "Orang yg beriman dan beramal shalih....". Karena amal selalu beriringan dengan iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

3. Allah belum memberiku hidayah
Ukhti/saudari yang seperti ini terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Karena bila orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo'akan dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa mengantarkannya sehingga mendapatkan hidayah tersebut. Seperti firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendirinya” (QS. Ar-Ra'd: 11).

Karena itu wahai uhkti/saudari, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya Anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah SWT. Diatara usaha itu adalah berdo'a agar mendapat hidayah, memilih kawan yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan Kitab Allah, mengikuti majelis dzikir dan ceramah agama dan lainnya.

4.Takut tidak laku nikah
Syubhat ini dibisikkan oleh setan dalam jiwa karena perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan untuk menikah kecuali jika dia telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan dan perhiasan sang gadis. Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yg berpegang teguh dengan agama,(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu". (HR. Al Bukhari, kitaabun nikah,9/115).

5. Ia masih belum Dewasa
Sesungguhnya para wali, baik ayah atau ibu yang mencegah anak puterinya berhijab, dengan dalih karena masih belum dewasa, mereka mempunyai tanggung jawab yang besar dihadapan Allah SWT pada hari Kiamat. Karena menurut syariat ketika seorang gadis mendapatkan Haidh, seketika itu pula ia wajib untuk berhijab.

6. Orang tuaku dan suamiku melarang berhijab
Dasar permasalahan ini adalah bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus didahulukan daripada ketaatan kepada mahluk siapa pun dia. Seperti dalam hadits shahih disebutkan:

"sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan."(HR. Al Bukhari dan Muslim). Dan sabda Rasul dalam hadist lainnya: "Dan tidak boleh taat kepada mahluk dengan mendurhakai (bermaksiat) kepada Al-Khaliq." (HR. Imam Ahmad, hadits ini shahih).

Maka dari itu wahai ukhti yang belum berhijab, semoga tulisan ini mejadi pembuka hati yang terkunci, menggetarkan perasaan yg tertidur, sehingga bisa mengembalikan segenap akhwat yang belum mentaati perintah berhijab, kepada fitrah yang telah diperintahkan Allah SWT.
 
posted by r35tu