Jumat, 29 April 2011

Shalat Jama' dan Qashar Part. 2

HUKUM MEN-JAMA' SHOLAT

Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami


Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib dg Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317).
Jama’ Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).

MENJAMA’ JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)

JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada wkatu perang Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat ini merupakan fatwa para ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).

MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).

MUSAFIR MENJADI IMAM MUKIM
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.” (HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
SHALAT JUM’AT BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Di ambil dari materi Kajian Majelis Taklim dan Dakwah “Husnul Khotimah” Masjid An Nut Jagalan Malang, pengasuh Al Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadromi. kalian bisa download file dalam bentuk PDF.



Shalat Jama' dan Qashar

MAKNA DAN HUKUM QASHAR
 
Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami


Wahai para saudara/i ku yang di rahmati Allah,... pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi tausiah yang Insya Allah bermanfaat sekali bagi kita semua. Mungkin kita terkadang menyepelekan akan perintah Allah akan sholat lima waktu saat kita sedang berpergian jauh. Bahkan tidak mendirikan sholat sama kali, dengan berbagai alasan seperti takut tertinggal kendaraan umum, repot, atau apa. tapi yang jelas tidak banyak orang yang tau tentang menjamak dan meng qashar sholat. Maka dari itu saya akan membagikan tausiah dari Ustadz Abdullah tentang pembahasan kali ini. MARI KITA SIMAK !!!!!
    Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).

Allah Ta’ala berfirman:
 “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:  

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
       Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).

Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).

SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: “Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.
yaa.... itulah sedikit pembahasan tentang makna dan hukum Qashar, dan besok akan dilanjutkan tentang tata cara menjama' sholat. tetap menjadi pembaca setia SKI forums yaaa..... agar selalu bertamabah ilmu nya. amien. 

Rabu, 09 Maret 2011

CARA TIDUR RASULULLAH

Al-Bara’ bin ‘Azib ra. berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW bila berbaring di tempat tidurnya, beliau letakkan telapak tangannya yang kanan di bawah pipinya yang kanan, seraya berdoa: Robbi qinii ‘adzaabaka yawma tab’atsu ‘ibaadaka (Ya Robbi, peliharalah aku dari azab-Mu pada hari Kau bangkitkan seluruh hamba-Mu).” [HR. At-Tarmidzi]

        Begitulah bunyi hadits diatas merupakan salah satu dari hadits yang berisikan bagaimana Rasulullah SAW melakukan kegiatan tidurnya. maha suci Allah pencipta langit dan seisinya, sebgaimana kita sebagi umat islam dan pengikut baginda Rasulullah SAW hendaknya kita mengikuti apa yang Rasulullah kerjakan salah satunya tata cara tidur. dan segala sesuatu yang Rasulullah contohkan selalu membawa nilai kemanfaatan bagi umatnya.

 CARA TIDUR YANG SEBAIK-BAIKNYA DIAMALKAN OLEH RASULULLAH S.A.W.

1) Tidurlah di awal malam sesudah menunaikan sembahyang Isyak jam 10.00 atau 11.00 dengan keadaan berwuduk.
2) Bangkitlah di awal separuh kedua malam jam 1.00 atau 2.00, kemudian bersugi, berwuduk dan bersembahyang tahajjud.
3) Kemudian tidurlah semula dan bangkitlah sebelum terbit fajar.
4) Tidurlah dengan mengiringkan badan di sebelah rusuk kanan, rusuk kiri di bahagian atas, supaya tetap kedudukan makanan di dalam usus, cepat hadam makanan. Tidurlah sedemikian dari mula hingga akhirnya.

WAKTU-WAKTU YANG TIDAK DIBENARKAN TIDUR

1) Awal-awal pagi setelah terbit matahari.
2) Selepas masuk waktu Asar.
3) Tidur di bawah cahaya matahari walaupun terkena separuh dari badan.

BAHAYA TIDUR DI SIANG HARI

Dilarang tidur di siang hari di dalam keadaan cuaca yang panas kerana:
1) Mendatangkan penyakit-penyakit kulit.
2) Merosakkan warna kulit.
3) Melemahkan jantung.
4) Menambahkan tekanan perasaan yang meluap.
5) Melemahkan badan dan mengurangkan tenaga syahwat.
6) Melemahkan kecerdasaan akal.

CARA MENGHINDARKAN LESU SELEPAS BANGKIT DARI TIDUR

1) Bersihkan tubuh, terutamanya bahagian muka, tangan dan kaki sebelum masuk tidur.
2) Hindarkan dari tidur lewat malam.
3) Lakukan gerak badan dan senaman di atas katil setelah jaga dari tidur sebelum turun dari katil.
4) Minumlah segelas air masak setiap pagi sebelum bersarapan tetapi jangan selepas saja bangun dari tidur.
5) Cucilah muka terutama bahagian kelopak mata dengan air suam.
6) Ambil wuduk dan bersembahyang Subuh.

PEKARA-PEKARA YANG BOLEH MELEMAHKAN TENAGA DAN MEMPERCEPATKAN TUA
1) Terlalu banyak bercita-cita atau berangan-angan.
2) Banyak minum air di waktu pagi.
3) Banyak memakan atau meminum yang seba masam

Hudzaifah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, maka beliau berdoa: Alloohumma bismika amuutu wa ahyaa (Ya Allah, dengan Asma-Mu aku mat dan aku hidup). Dan jika bangun dari tidurnya beliau berdoa: Alhamdu lillaahil-lladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayhin-nusyuur (Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan daku kembali setelah mematikan daku, dan kepada-Nya tempat kembali).” [HR. At-Tarmidzi]

Aisyah ra. berkata: “Bila Rasulullah SAW berbaring di tempat tidurnya, beliau kumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniup keduanya dan dibaca pada keduanya surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas. Kemudian disapunya seluruh badan yang dapat disapunya dengan kedua tangannya. Beliau mulai dari kepalanya, mukanya dan bagian depan dari badannya. Beliau lakukan hal ini sebanyak tiga kali.” [HR. At-Tarmidzi]

Minggu, 06 Maret 2011

Sudah Shalat Ied Hari Jumat, Apa Masih Wajib Shalat Jumat?

 oleh ust. ahmad sarwat




Masalah ini memang sering ditanyakan, yaitu masihkah kita wajib shalat Jumat kalau pagi harinya kita sudah shalat Ied? Atau dengan kata lain, apakah shalat Idul Fithri atau Iedul Adha yang jatuh di hari Jumat, akan menggugurkan kewajiban shalat Jumat di siang harinya?

Ada tiga jawaban sederhana untuk masalah ini :


Pertama : Haditsnya Dhaif (Lemah)
Sebenarnya hadits yang menyebutkan ada sebagian shahabat dibolehkan tidak ikut shalat Jumat di hari Raya Iedul Fithri dari sisi kekuatan sanadnya masih bermasalah alias dhaif. Banyak pakar hadits yang mendhaifkan hadits ini dan yang semisalnya.

Dan kita tahu bahwa hadits yang bermasalah dari segi kekuatan sanadnya, tidak boleh dijadikan dalil atau hujjah dalam urusan aqidah, syariah, ibadah serta halal-haram.

Masak sih hari gini masih doyan makan hadits dhaif? Apa kata dunia?

Kedua : Nabi dan Para Shahabat Lainnya Tetap Melaksanakan Shalat Jumat

Pada kenyataannya tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat di Madinah hari itu LIBUR dari shalat Jumat. Kalau pun kita terima hadits itu dengan memaksakan kehendak, yang tidak ikut shalat Jumat hanya beberapa orang saja, tidak melibatkan semua shahabat.

Artinya, di Madinah shalat Jumat pada hari Raya Iedul Fithri tetap berlangsung, tidak ada istilah libur atau cuti.

Ketiga : Yang Diberi Keringanan Tidak Shalat Jumat Memang Mereka Yang Pada Hakikatnya Tidak Wajib Shalat Jumat

Ini informasi yang paling penting mengenai adanya izin dari Rasulullah SAW atas sebagian shahabatnya untuk tidak ikut shalat Jumat di hari Raya. Mengapa Beliau SAW membolehkan?

Ternyata kalau kita selidiki lebih jauh, mereka itu memang bukan penduduk Madinah. Mereka ada kaum yang tinggal di luar daerah, bahkan sebagian kalangan menyebut mereka sebagai nomaden yang hidup berpindah-pindah.

Maka secara hukum, bukan hanya pas di hari Jumat yang bertepatan dengan Idul Fithri saja mereka dibolehkan tidak shalat Jumat, tetapi setiap hari Jumat sepanjang tahun memang mereka bukan orang yang diwajibkan shalat Jumat.

Salah satu syarat wajib shalat Jumat adalah status bermuqim, bukan musafir. Dan orang yang nomaden termasuk mereka yang pada dasarnya tidak wajib shalat Jumat.

Jumhur Ulama : Shalat Jumat Tetap Wajib

Jumhur ulama, selain Al-hanabilah, meski ada beberapa dalil hadits, sepakat bahwa shalat Jumat tetap wajib dilakukan, meski hari itu adalah hari raya, baik Idul fithr maupun Idul Adha. Mereka yang secara sengaja meninggalkan shalat Jumat di hari itu, selain berdosa juga wajib melaksanakan shalat Dzhuhur. Sebab dalam pandangan mereka, shalat Jumat tetap wajib hukumnya.

Dalam pandangan mereka, kekuatan dalil-dalil qath`i atas kewajiban untuk melaksanakan shalat Jumat di hari raya tidak bisa dikalahkan oleh dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat. Sebab kewajiban shalat Jumat didasari oleh Al-Quran, As-sunnah dan ijma` seluruh umat Islam.



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)

Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :

وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)


Hadits ini menegaskan bahwa yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat hanya hal-hal tersebut. Dan tidak ada dijelaskan bahwa shalat idul fithr dan idul adha berfungsi menggugurkan shalat jumat.

مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ

Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
Selain itu, ancaman buat orang yang meninggalan shalat jumat secara sengaja sangat berat. Bentuknya sampai disebut-sebut bahwa Allah akan menutup hati seseorang, sehingga tidak bisa menerima hidayah dari Allah SWT.

لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ

Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan dalil-dalil qath`i di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar.

Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancaman, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.

Sedangkan dalil yang membolehkan sebagian shahabat untuk tidak shalat Jumat dalam kasus itu hanya didasari oleh beberapa hadits, yang sebagiannya tidak shahih, atau setidaknya bermasalah.

Lagi pula kalau dalam kasus itu ada keringanan dari Rasululah SAW kepada sebagian shahabat, ternyata Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakan shalat Jumat. Kalau Rasulullah SAW sendiri tetap melaksanakannya, kenapa harus mengikuti apa yang dilakukan oleh sebagian shahabat. Bukankah kita ini shalat mengikuti Rasulullah?

a. Pendapat Al-hanafiyah dan Al-Malikiyah

Mewakili pendapat jumhur ulama, para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa suatu shalat tidaklah bisa menggantikan shalat yang lainnya dan sesungguhnya setiap dari shalat itu tetap dituntut untuk dilakukan.

Suatu shalat tidaklah bisa menggantikan suatu shalat lainnya bahkan tidak diperbolehkan menggabungkan (jama’) diantara keduanya. Sesungguhnya jama’ adalah keringanan khusus terhadap shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya.

b. Pendapat As-Syafi`iyah

Mewakili juga kalangan jumhur ulama, mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa kebolehan tidak shalat Jumat itu hanya berlaku khusus buat penduduk suatu kampung yang jumlahnya tidak mencukupi angka 40 orang.

Selain itu, orang yang tinggal di tempat terpencil jauh dari peradaban dan tidak mendengar adzan jumat, juga tidak wajib shalat Jumat. tapi mereka yang mendengar suara adzan dari negeri lain yang disana dilaksanakan shalat jum’at maka hendaklah berangkat untuk shalat jum’at.

Dalil mereka adalah perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al ‘Aliyah—Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur—yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.

Shalat Jumat Tidak Wajib : Pendapat Menyendiri dari Al-Hanabilah

Mazhab ini menyimpulkan bahwa shalat Jumat gugur apabila pada pagi harinya seseorang telah melaksanakan shalat `Ied.

Dalil yang mereka kemukakan ada beberapa hadits, antara lain :

أن زيد بن أرقم شهد مع الرسول ـ صلى الله عليه وسلم ـ عيدين اجتمعا فصلى العيد أول النهار ثم رخص في الجمعة وقال: " من شاء أن يجمع فليجمع" في إسناده مجهول فهو حديث ضعيف.

Bahwa Zaid bin Arqam menyaksikan bersama Rasulullah SAW dua hari raya (Ied dan Jumat), beliau shalat Ied di pagi hari kemudian memberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat dan bersabda,"Siapa yang mau menggabungkan silahkan. (HR. Ahmad Abu Daud Ibnu Majah dan An-Nasai)

Hadits ini isnadnya majhul dan merupakan hadits yang dhaif (lemah).

عن أبي هريرة أنه صلى الله عليه وسلم قال: "قد اجتمع في يومكم هذا عيدان؛ فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مُجَمّعُون" رواه أبو داود

Dari Abu Huraiah RA bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”(HR. Abu Daud)

Terdapat catatan didalam sanadnya. Sementara Ahmad bin Hambal membenarkan bahwa hadits ini mursal, yaitu tidak terdapat sahabat di dalamnya.

Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat id maka tidak lagi ada kewajiban atasnya shalat jum’at. Namun pandangan ini tetap mewajibkan seorang imam untuk tetap melaksanakan shalat Jumat, jika terdapat jumlah orang yang cukup untuk sahnya suatu shalat jum’at. Adapun jika tidak terdapat jumlah yang memadai maka tidak diwajibkan untuk shalat jum’at.

Kesimpulan :

1. Kebolehan tidak shalat Jumat lantaran jatuh pada hari raya Idul Fithr atau Idul Adha adalah pendapat satu mazhab yaitu mazhab Imam Ahmad. Selebihnya, mayoritas ulama, seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah, tetap mewajibkan shalat Jumat.

2. Seandainya ada saudara kita yang kelihatan cenderung kepada pendapat Al-Hanabilah yang menganggap shalat Jumat telah gugur, kita perlu menghormati hal itu sebagai sebuah pendapat. Beda pendapat itu bukan berarti kita harus bermusuhan kepada mereka.

3. Pendapat mayoritas ulama termasuk di dalamnya Asy-Syafi`iyah yang tetap mewajibkan shalat Jumat, menurut pandangan saya -wallahu a`lam- lebih kuat, selain karena pendapat mayoritas ulama, juga karena beberapa alasan :

    a. Dalil tentang wajibnya shalat Jumat adalah dalil yang bersifat Qath`i, didukung oleh Quran, Sunnah yang shahih dan ijma` seluruh umat Islam sepanjang 14 abad.

    b. Dalil tentang bolehnya tidak shalat Jumat adalah dalil yang hanya didasari oleh beberapa hadits saja.

    c. Bila ada dua kelompok dalil yang bertentangan, maka kebiasaan para ulama adalah mencari titik temu keduanya. Dan dalam pandangan saya, titik temunya adalah bahwa yang diberikan keringanan untuk tidak shalat Jumat adalah mereka yang tinggal di luar kota Madinah. Dimana pada dasarnya, di luar momentum hari Raya sekalipun, mereka memang sudah tidak wajib shalat Jumat.

Dan karena pada hari raya mereka masuk ke kota dan ikut shalat Id, maka kalau siangnya mereka tidak mau ikut shalat Jumat, tentu tidak mengapa. Karena mereka itu pada hakikatnya bukan termasuk orang yang muqim di kota Madinah. Mereka adalah penduduk bawadi (tempat yang tidak dihuni manusia).

Sedangkan kita yang memang penduduk yang bermukim di tempat yang dihuni manusia, sejak awal memang sudah wajib untuk melaksanakan shalat Jumat. Sehingga kalau dalil-dali kebolehan tidak shalat Jumat di atas mau dipakai untuk kita, ada perbedaan konteks.

Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Rabu, 02 Maret 2011

APA YANG MENGHALANGIMU UNTUK BELUM BERHIJAB WAHAI SAUDARIKU

Hijab adalah pakaian wanita muslim yang menutup bagian kepala sampai dengan kaki (termasuk didalamnya jilbab/tudung dan pakaian yang longgar tidak memperlihatkan lekuk tubuh). Bagi orang awam, masalah hijab mungkin dianggap masalah sederhana. Padahal sesungguhnya, ia adalah masalah besar. Karena ia adalah perintah Allah SWT yang tentu didalamnya mengandung hikmah yang banyak dan sangat besar. Ketika Allah SWT memerintahkan kita suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu adalah untuk kebaikan kita dan salah satu sebab tercapainya kebahagiaan, kemuliaan dan keagungan wanita.

Seperti firman Allah SWT: "Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggunya.(QS. Al Ahzab:59)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda: "Akan ada di akhir umatku kaum lelaki yang menunggang pelana seperti layaknya kaum lelaki, mereka turun di depan pintu masjid, wanita-wanita mereka berpakaian (tetapi) telanjang, diatas kepala mereka (terdapat suatu) seperti punuk onta yg lemah gemulai. Laknatlah mereka! Sesunggunya mereka adalah wanita -wanita terlaknat."(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad(2/33))

Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah bersabda: “Dua kelompok termasuk penghuni Neraka, Aku (sendiri) belum pernah melihat mereka, yaitu seperti orang yg membawa cemeti seperti ekor sapi, dengannya mereka mencambuki manusia dan para wanita yg berpakaian (tetapi ) telanjang, bergoyang berlenggak lenggok, kepala mereka (ada suatu) seperti punuk unta yg bergoyang goyang. Mereka tentu tidak akan masuk Surga, bahkan tidak mendapat baunya. Dan sesungguhnya bau Surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian."(HR. Muslim, hadits no. 2128).

Dimasa kini banyak alasan atau sebab yang sering dijadikan alasan mengapa para wanita enggan untuk berhijab, diantaranya:

1. Belum mantap
Bila ukhti/saudari berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Tuhan dengan perintah manusia. Selagi masih dalam perintah manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerimanya. Tapi bila perintah itu dari Allah SWT tidak ada alasan bagi manusia untuk mengatakan saya belum mantap, karena bisa menyeret manusia pada bahaya besar yaitu keluar dari agama Allah SWT sebab dengan begitu ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut.

Allah SWT berfirman Allah: "Dan tidak patut bagi lelaki mukmin dan wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

2. Iman itu letaknya di hati bukan dalam penampilan luar
Para ukhti/saudari yang belum berhijab berusaha menafsirkan hadist, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan, seperti sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam: “Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.”(HR. Muslim, Hadist no. 2564 dari Abu Hurairah).

Tampaknya mereka menggugurkan makna sebenarnya yang dibelokkan pada kebathilan. Memang benar Iman itu letaknya dihati tapi Iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. Iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapat Surga. Karena definisi Iman Menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah: "keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan pelaksanaan dengan anggota badan". Dan juga tercantum dalam Al-Quran setiap kali disebut kata Iman, selalu disertai dengan amal, seperti: "Orang yg beriman dan beramal shalih....". Karena amal selalu beriringan dengan iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.

3. Allah belum memberiku hidayah
Ukhti/saudari yang seperti ini terperosok dalam kekeliruan yang nyata. Karena bila orang yang menginginkan hidayah, serta menghendaki agar orang lain mendo'akan dirinya agar mendapatkannya, ia harus berusaha keras dengan sebab-sebab yang bisa mengantarkannya sehingga mendapatkan hidayah tersebut. Seperti firman Allah SWT: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendirinya” (QS. Ar-Ra'd: 11).

Karena itu wahai uhkti/saudari, berusahalah mendapatkan sebab-sebab hidayah, niscaya Anda mendapatkan hidayah tersebut dengan izin Allah SWT. Diatara usaha itu adalah berdo'a agar mendapat hidayah, memilih kawan yang shalihah, selalu membaca, mempelajari dan merenungkan Kitab Allah, mengikuti majelis dzikir dan ceramah agama dan lainnya.

4.Takut tidak laku nikah
Syubhat ini dibisikkan oleh setan dalam jiwa karena perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan untuk menikah kecuali jika dia telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan dan perhiasan sang gadis. Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yg berpegang teguh dengan agama,(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu". (HR. Al Bukhari, kitaabun nikah,9/115).

5. Ia masih belum Dewasa
Sesungguhnya para wali, baik ayah atau ibu yang mencegah anak puterinya berhijab, dengan dalih karena masih belum dewasa, mereka mempunyai tanggung jawab yang besar dihadapan Allah SWT pada hari Kiamat. Karena menurut syariat ketika seorang gadis mendapatkan Haidh, seketika itu pula ia wajib untuk berhijab.

6. Orang tuaku dan suamiku melarang berhijab
Dasar permasalahan ini adalah bahwa ketaatan kepada Allah SWT harus didahulukan daripada ketaatan kepada mahluk siapa pun dia. Seperti dalam hadits shahih disebutkan:

"sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan."(HR. Al Bukhari dan Muslim). Dan sabda Rasul dalam hadist lainnya: "Dan tidak boleh taat kepada mahluk dengan mendurhakai (bermaksiat) kepada Al-Khaliq." (HR. Imam Ahmad, hadits ini shahih).

Maka dari itu wahai ukhti yang belum berhijab, semoga tulisan ini mejadi pembuka hati yang terkunci, menggetarkan perasaan yg tertidur, sehingga bisa mengembalikan segenap akhwat yang belum mentaati perintah berhijab, kepada fitrah yang telah diperintahkan Allah SWT.
 
posted by r35tu 

Selasa, 15 Februari 2011

”Awas Salah Tempat Sa’i, Harus Di Tempat Sa’i Yang Lama”

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya.

sudah lama tidak memposting yang baru, alhamdulillah kami bisa mempostingkan yang Isya Allah bermanfaat untuk kita semua. amien


Kaum Wahabi tidak merasa cukup hanya dengan berusaha merusak aqidah orang-orang Islam, selain itu  mereka juga merusak ibadah haji orang-orang Islam yang tengah mereka kerjakan.

Sesungguhnya semenjak zaman Rasulullah seluruh orang Islam melakukan ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah di tempat khusus yang telah ditetapkan oleh Raslullah. Dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan pelajaran tentang tata cara berhaji, beliau bersabda:

خذوا عني مناسِككم
“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.

Rasulullah tidak perah berkata: “Ambilah tata cara ibadah kalian dari para penguasa wahabi”.
Tepatnya tanggal 24 Februari 2008 kaum Wahabi memulai proyek pelebaran tempat ibadah sa’i yang sebelumnya telah mereka rencanakan. Mereka ingin “dikenang sejarah” agar dicatat bahwa pelebaran tempat ibada sa’i telah dibangun oleh “tangan mereka”, tidak peduli walaupun itu menyalahi ketentuan-ketentuan syari’at.
  
Lebar tampat ibadah sa’i sebenarnya adalah sekitar 35 hasta; atau sekitar 17,5 meter. Namun sekarang telah dirubah oleh dinasti Wahabi menjadi 55 meter, dengan menambahkan sekitar 38 meter dari yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Proyek pelebaran ini tidak lain hanya untuk “memenuhi keinginan perut dan kekuasaan” mereka.

Al Imam al Hafizh an Nawawi dalam kitab al Majmu’, juz. 2, hlm. 77, meriwayatkan perkataan Imam asy Syafi’i, menuliskan: “Imam asy Syafi’i berkata: Jika seseorang melakukan sa’i di suq al ath-tharin maka sa’i-nya tersebut tidak sah”. 

Suq al ath-tharin di masa Imam asy Syafi’i adalah adalah tempat yang menempel di sisi tempat sa’i yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Lihat gambar berikut ini, di bagian belakang peralatan berat adalah tempat sa’i lama (tempat yang telah ditentukan oleh Rasulullah). Kemudian sedikit di arah depan peralatan berat tersebut adalah Suq al Al ath-tharin (menempel dengan tempat sa’i lama). Lalu di depannya lagi ke arah luar (dengan tanda panah yang banyak) adalah pelebaran yang tempat sa’i yang prakarsai Wahabi.

((foto ini menunjukan pengerjaan proyek pelebaran tempat Sa’i yang di mulai tahun 2008)))
Syekh Mulla Ali al Qari, salah seorang ulama terkemuka madzhab Hanafi, berkata: “Jika seseorang melakukan sa’i di luar tempat yang telah disepakati maka ibadah sa’i-nya tidak sah. Orang tersebut jika telah pulang (dari Mekah) maka wajib ia kembali (ke Mekah) untuk melakukan sa’i sesuai tempat aslinya”.

Apa yang dikutip oleh Syekh Mulla al Qari ini adalah konsensus (Ijma’) ulama tentang keharusan melakukan sa’i sesuai dengan tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Perkara ini telah disepakati oleh seluruh ulama.

Namun lihat, apa yang sekarang terjadi…!!! Suq al Ath-tharin yang menempel ke tempat sa’i lama yang oleh Imam Syafi’i tidak boleh dijadikan tempat sa’i; sekarang malah jauh lebih keluar dan lebih melebar. Hasbunallah.
Ingatkan saudara-saudar kita yang berangkat haji; YANG MELAKUKAN SA’I DI LUAR TEMPAT SA’I YANG LAMA MAKA SA’I-NYA TIDAK SAH”.

Lihat gambar di atas, garis dengan warna merah adalah tempat sa’i lama yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah, garis biru adalah wilayah Suq al Ath-tharin, dan garis kuning (termasuk yang diarsir) adalah tempat sa’i baru prakarsa Wahabi. Sa’i yang dikerjakan di wilayah warna biru dan kuning ini tidak sah. Ibadah sa’i antara Shofa dan Marwah harus dilakukan ditempat sa’i lama.

Perhatikan…. Seorang yang melaksanakan sa’i (baik untuk haji atau untuk umrah) pertama-tama ia memulainya dari Shafa, lalu berjalan ke arah Marwah; harus ia lakukan pada bagian yang lebih dekat ke arah ka’bah, (pada gambar di atas di garis warna merah). Kemudian ketika memutar balik dari arah Marwah untuk kembali ke arah Shafa harus pada tempat yang sama; jangan sampai melebar ke arah yang ditunjukan dengan warna biru dan warna kuning.

*********************************************************************************
Masalah: “Jika dikatakan bahwa tujuan pelebaran itu adalah untuk meringankan jumlah jama’ah yang sangat banyak”.

Jawab: “Ada cara untuk tujuan itu yang sesuai dengan tuntunan syari’at, yaitu dengan membuat beberapa lantai baik ke arah atas atau ke arah bawah. Seandainya dibangun ke arah atas walaupun hingga 10 lantai, dan atau ke arah bawah walaupun hingga 10 lantai dengan tetap memelihara panjang dan lebarnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah; termasuk menjaga posisi tinggi dan rendahnya antara dua bukit Shafa dan Marwah tersebut, sesuai dengan pola tempat sa’i yang lama; maka sa’i-nya dianggap sah. Oleh karena Siti Hajar dahulu naik bukit Shafa, lalu turun, lalu naik ke bukit Marwah, lalu turun, lalu kembali naik ke bukit Shafa, dan demikian seterusnya.
Kaum Wahabi MEMBUAT BOHONG BESAR dalam masalah ini, mereka mengatakan bahwa masalah tempat sa’i adalah masalah yang masih diperselisihkan (khilafiyyah). Catat, pernyataan mereka ini BOHONG BESAR.

Sebenarnya, dahulu para pemuka ajaran Wahabi sendiri mengharamkan melakukan sa’i di luar batas yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –seperti yang akan anda lihat dalam bukti scan di bawah ini–, hanya kemudian makin ke belakang ini di antara mereka terdapat perbedaan pendapat. Catat, PERBEDAAN PENDAPAT INI HANYA DI ANTARA MEREKA; antara yang mau mangikuti “nafsu kekuasaan raja mereka” dan antara mengikuti ketetapan tampat sa’i yang lama.

Sekali lagi CATAT…., yang dimaksud “perbedaan pendapat” (khilafiyyah) oleh mereka adalah perbedaan di kalangan orang-orang Wahabi sendiri, bukan ulama kita; ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Seandainya sa’i dapat dilakukan di luar tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –seperti ketetapan ajaran baru kaum Wahabi ini; maka berarti sa’i dapat dilakukan di mana-pun. Na’udzu billah.
Mereka dahulu tidak pernah berani mengeluarkan pendapat yang menyesatkan ini; sebelum kemudian datang proyek pelebaran tersebut dari “tuan-tuan raja mereka sendiri”. Bahkan dahulu mereka mengingkari orang-orang yang melakukan sa’i di luar batas/tempat yang telah ditetapkan dalam syari’at. Namun setelah “ketetapan” penguasa mereka datang; akhirnya fatwa-fatwa kaum Wahabi satu sama lainnya saling bertentangan; sesuai kepentingan “FULUS”.

Perhatikan ketetapan para ulama Wahabi dalam scan berikut, mereka melarang pelebaran tempat sa’i dari yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, mereka hanya membolehkan membangun lantai bertingkat jika memang itu dibutuhkan.

Ini bunyi teks yang beri tanda panah dan garis merah:
أن العمارة الحالية للمسعى شاملة لجميع أرضه , ومن ثم فإنه ((لا يجوز توسعتها)) , و يمكن عند الحاجة (حل المشكلة رأسياً) , بإضافة بناء فوق المسعى

[[ Terjemah ]] : “Bangunan tempat sa’i yang ada sekarang sudah mencakup keseluruhan area tanahnya (artinya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Syari’at), oleh karena itu tidak boleh diperlebar. Tapi dimungkinkan –bila dibutuhkan– untuk memecahkan masalah (terlalu banyak jama’ah) dengan menambah bangunan di atas tempat sa’i (yang ada)”.

Bahkan, “Imam terkemuka rujukan Wahabi”; al Mujassim IBNU TAIMIYAH mengatakan bahwa sa’i yang dilakukan diluar tempat yang telah disepakati maka sa’i-nya tidak sah. Dalam “Syarh al ‘Umdah”, juz 3, hlm 599, IBNU TAIMIYAH berkata: “Jika seseorang melakukan sa’i ditempat yang berdekatan dengan tempat sa’i yang telah ditentukan, ia tidak melakukan sa’i di tempat antara Shafa dan Marwah; maka sa’i-nya tidak sah”.

Lebih jauh lagi, IBNU TAIMIYAH mengatakan jika seseorang berjalan naik turun di antara dua gunung dan ia menganggap apa yang dilakukannya ini sebagai bentuk ibadah sebagaimana ibadah sa’i antara Shafa dan Marwah; maka perbuatannya ini HARAM, bahkan pelakunya harus diminta untuk bertaubat, dan jika ia tidak mau bertaubat maka ia dihukum BUNUH. (Lihat karya Ibnu Taimiyah berjudul MAJMU’ FATAWA, juz. 11, hlm. 632)

Tempat sa’i yang kita lihat sekarang dengan nama “AL MAS’A AL JADID” (Tempat Sa’i Baru) adalah jelas tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.
 
Lebih luas tentang ketetapan para ulama tentang ibadah sa’i tidak boleh di luar tempat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (harus di AL MAS’A AL QADIM = harus di tempat sa’i yang lama); buka link berikut:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=493291026728&id=100000512761714

Cukup bagi kita bahwa Rasulullah telah bersabda:
خذوا عني مناسِككم
“Ambilah dariku tata cara ibadah haji kalian”.

Kamis, 13 Januari 2011

penemu benua amerika siapa?

Laksamana Cheng Ho,Penemu Benua Amerika Yang Pertama...

Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana. Para peserta seminar yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa waktu lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan sejarawan bernama Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat perhatian besar.

Tampil penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita mengenalnya dengan Ceng Ho-red). Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya Columbus.

Bahkan menurutnya, Zheng He 'mengalahkan' Columbus dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah. Adalah sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda bersejarah itu.
Replika Kapal Laksamana Cheng Ho
''Laksana inilah yang semestinya dianugerahi gelar sebagai penemu pertama benua Amerika,'' ujarnya. Menzies melakukan kajian selama lebih dari 14 tahun. Ini termasuk penelitian peta-peta kuno, bukti artefak dan juga pengembangan dari teknologi astronomi modern seperti melalui program software Starry Night.

Dari bukti-bukti kunci yang bisa mengubah alur sejarah ini, Menzies mengatakan bahwa sebagian besar peta maupun tulisan navigasi Cina kuno bersumber pada masa pelayaran Laksamana Zheng He. Penjelajahannya hingga mencapai benua Amerika mengambil waktu antara tahun 1421 dan 1423. Sebelumnya armada kapal Zheng He berlayar menyusuri jalur selatan melewati Afrika dan sampai ke Amerika Selatan.

Uraian astronomi pelayaran Zheng He kira-kira menyebut, pada larut malam saat terlihat bintang selatan sekitar tanggal 18 Maret 1421, lokasi berada di ujung selatan Amerika Selatan. Hal tersebut kemudian direkonstruksi ulang menggunakan software Starry Night dengan membandingkan peta pelayaran Zheng He.

"Saya memprogram Starry Night hingga masa di tahun 1421 serta bagian dunia yang diperkirakan pernah dilayari ekspedisi tersebut," ungkap Menzies yang juga ahli navigasi dan mantan komandan kapal selam angkatan laut Inggris ini. Dari sini, dia akhirnya menemukan dua lokasi berbeda dari pelayaran ini berkat catatan astronomi (bintang) ekspedisi Zheng He.

Lantas terjadi pergerakan pada bintang-bintang ini, sesuai perputaran serta orientasi bumi di angkasa. Akibat perputaran bumi yang kurang sempurna membuat sumbu bumi seolah mengukir lingkaran di angkasa setiap 26 ribu tahun. Fenomena ini, yang disebut presisi, berarti tiap titik kutub membidik bintang berbeda selama waktu berjalan. Menzies menggunakan software untuk merekonstruksi posisi bintang-bintang seperti pada masa tahun 1421.

"Kita sudah memiliki peta bintang Cina kuno namun masih membutuhkan penanggalan petanya," kata Menzies. Saat sedang bingung memikirkan masalah ini, tiba-tiba ditemukanlah pemecahannya. "Dengan kemujuran luar biasa, salah satu dari tujuan yang mereka lalui, yakni antara Sumatra dan Dondra Head, Srilanka, mengarah ke barat."

Bagian dari pelayaran tersebut rupanya sangat dekat dengan garis katulistiwa di Samudera Hindia. Adapun Polaris, sang bintang utara, dan bintang selatan Canopus, yang dekat dengan lintang kutub selatan, tercantum dalam peta. "Dari situ, kita berhasil menentukan arah dan letak Polaris. Sehingga selanjutnya kita bisa memastikan masa dari peta itu yakni tahun 1421, plus dan minus 30 tahun."

Atas temuan tersebut, Phillip Sadler, pakar navigasi dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, mengatakan perkiraan dengan menggunakan peta kuno berdasarkan posisi bintang amatlah dimungkinkan. Dia juga sepakat bahwa estimasi waktu 30 tahun, seperti dalam pandangan Menzies, juga masuk akal.

Sang penjelajah ulung
Selama ini, masyarakat dunia mengetahui kiprah Zheng He sebagai penjelajah ulung. Dia terlahir di Kunyang, kota yang berada di sebelah barat daya Propinsi Yunan, pada tahun 1371. Keluarganya yang bernama Ma, adalah bagian dari warga minoritas Semur. Mereka berasal dari kawasan Asia Tengah serta menganut agama Islam. Ayah dan kakek Zheng He diketahui pernah mengadakan perjalanan haji ke Tanah Suci Makkah. Sementara Zheng He sendiri tumbuh besar dengan banyak mengadakan perjalanan ke sejumlah wilayah. Ia adalah Muslim yang taat.

Yunan adalah salah satu wilayah terakhir pertahanan bangsa Mongol, yang sudah ada jauh sebelum masa dinasti Ming. Pada saat pasukan Ming menguasai Yunan tahun 1382, Zheng He turut ditawan dan dibawa ke Nanjing. Ketika itu dia masih berusia 11 tahun. Zheng He pun dijadikan sebagai pelayan putra mahkota yang nantinya menjadi kaisar bernama Yong Le. Nah kaisar inilah yang memberi nama Zheng He hingga akhirnya dia menjadi salah satu panglima laut paling termashyur di dunia.

Artikel ini diAmbil Dari => http://haxims.blogspot.com/2010/04/laksamana-cheng-hopenemu-benua-amerika.html#ixzz1AzaniH1F

Rabu, 12 Januari 2011

Ikhwan Sejati Pilihan Allah

Assalamu'alaikum wr wb,

    Menjadi seorang ikhwan sejati pilihan Alloh,sehingga senantiasa berada dalam lindungan rahmat dan kasihnya senantiasa menjadi dambaan para kaum Adam, apalagi jika mengingat kelak insyaAlloh akan adanya seorang hamba yang dititipkan-Nya untuk kita bimbing menjadi seorang istri sholehah ...

Wah subhanalloh ...

Beberapa waktu yang lalu sampai saat ini, menjadikan saya tertarik akan bahasan ini. Beberapa buku saya cari tak lupa beberapa situs juga saya kunjungi untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kriteria seorang ikhwan sejati itu, hasilnya ... Saya menemukan beberapa postingan temen-temen mengenai kriteria dan panduan untuk menjadi ikhwan sejati itu.

Beberapa tulisan mereka seperti berikut ini,
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, Tetapi dari kasih sayangnya pada orang di sekitarnya
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, Tetapi dari kelembutan mengatakan kebenaran
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, Tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia dihormati di tempat kerja, Tetapi bagaiman dia dihormati di dalam rumah
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, Tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, Tetapi dari hati yang ada di balik itu
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, Tetapi dari komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, Tetapi dari tabahnya dia menjalani lika liku kehidupan
  • Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya dia membaca Qur'an, Tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang dia baca
Beberapa hari kemudian, dalam sebuah acara tanpa diduga, sebuah bingkisan saya dapatkan. Ketika saya buka, tidak lebih dari sebuah sticker lucu nan penuh makna tersirat padanya,




Rajulun Shaleh,
Lelaki yang kehadirannya senantiasa dirindukan oleh Surga
  • Khusyu dalam sholatnya
  • Menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang tidak berguna
  • Menjaga farajnya (kemaluannya), kecuali pada istrinya
  • Ahli shaum dan selalu menunaikan zakat
  • Senantiasa menundukkan pandangan
  • Bersih aqidahnya, sehat rohaninya
  • Benar dalam ibadahnya
  • Jiwanya senantiasa bersunguh-sungguh
  • Mampu berusaha mencari nafkah
  • Bermanfaat bagi orang lain
  • Senantiasa siap menolong
  • Selalu yakin dalam setiap tindakannya
  • Berpikir positif dan membangun
  • Rendah hati (tawadhu)
  • Selalu menghindari perkara yang samar-samar (syubhat)
  • Pemaaf dan lapang dada
  • Bersikap keras dan tegas terhadap kekafiran
  • Efisien dalam memanfaatkan waktu
  • Istiqomah dalam kebenaran.
Do'akan kami semoga bisa menjadi sesorang yang memiliki pribadi suci seperti itu, Amiiin

Wassalamu'alaikum wr wb

Hukum Pacaran Dalam Islam

Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita dibagi menjadi dua, yaitu hubungan mahram dan hubungan nonmahram. Hubungan mahram adalah seperti yang disebutkan dalam Surah An-Nisa 23, yaitu mahram seorang laki-laki (atau wanita yang tidak boleh dikawin oleh laki-laki) adalah ibu (termasuk nenek), saudara perempuan (baik sekandung ataupun sebapak), bibi (dari bapak ataupun ibu), keponakan (dari saudara sekandung atau sebapak), anak perempuan (baik itu asli ataupun tiri dan termasuk di dalamnya cucu), ibu susu, saudara sesusuan, ibu mertua, dan menantu perempuan.

Maka, yang tidak termasuk mahram adalah sepupu, istri paman, dan semua wanita yang tidak disebutkan dalam ayat di atas.

Uturan untuk mahram sudah jelas, yaitu seorang laki-laki boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan mahramnya, semisal bapak dengan putrinya, kakak laki-laki dengan adiknya yang perempuan, dan seterusnya. Demikian pula, dibolehkan bagi mahramnya untuk tidak berhijab di mana seorang laki-laki boleh melihat langsung perempuan yang terhitung mahramnya tanpa hijab ataupun tanpa jilbab (tetapi bukan auratnya), semisal bapak melihat rambut putrinya, atau seorang kakak laki-laki melihat wajah adiknya yang perempuan. Aturan yang lain yaitu perempuan boleh berpergian jauh/safar lebih dari tiga hari jika ditemani oleh laki-laki yang terhitung mahramnya, misalnya kakak laki-laki mengantar adiknya yang perempuan tour
keliling dunia. Aturan yang lain bahwa seorang laki-laki boleh menjadi wali bagi perempuan yang terhitung mahramnya, semisal seorang laki-laki yang menjadi wali bagi bibinya dalam pernikahan.

Hubungan yang kedua adalah hubungan nonmahram, yaitu larangan berkhalwat (berdua-duaan), larangan melihat langsung, dan kewajiban berhijab di samping berjilbab, tidak bisa berpergian lebih dari tiga hari dan tidak bisa menjadi walinya. Ada pula aturan yang lain, yaitu jika ingin berbicara dengan nonmahram, maka seorang perempuan harus didampingi oleh mahram aslinya. Misalnya, seorang siswi SMU yang
ingin berbicara dengan temannya yang laki-laki harus ditemani oleh bapaknya atau kakaknya. Dengan demikian, hubungan nonmahram yang melanggar aturan di atas adalah haram dalam Islam. Perhatikan dan renungkanlah uraian berikut ini.
Firman Allah SWT yang artinya, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32).

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki: ‘Hendaklah mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya ….’ Dan katakanlah kepada orang-orang mukmin perempuan: ‘Hendaknya mereka itu menundukkan sebahagian pandangannya dan menjaga kemaluannya …’.”
(An-Nur: 30–31).

Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan dapat dikatakan terpelihara apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat
mengulangi melihat lagi atau mengamat-amati kecantikannya atau kegantengannya.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang melihat denganmendadak. Maka jawab Nabi, ‘Palingkanlah pandanganmu itu!”
(HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya, “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas dan Abu Hurairah).

Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya melangkah (berjalan) dan hati yang berhazrat dan berharap. Semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

Al-Hakim meriwayatkan, “Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya.”

Yang terendah adalah zina hati dengan bernikmat-nikmat karena getaran jiwa yang dekat dengannya, zina mata dengan merasakan sedap memandangnya dan lebih jauh terjerumus ke zina badan dengan, saling bersentuhan, berpegangan, berpelukan, berciuman, dan seterusnya hingga terjadilah persetubuhan.

Ath-Thabarani dan Al-Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah berfirman yang artinya, ‘Penglihatan (melihat wanita) itu sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka siapa mengelakkan (meninggalkannya) karena takut pada-Ku, maka Aku menggantikannya dengan iman yang dapat dirasakan manisnya dalam hatinya.”

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, “Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan, seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang
tidak halal baginya.”

Di dalam kitab Dzamm ul Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan dari Abu al-Hasan al-Wa’ifdz bahwa dia berkata, “Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, ‘Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah
hitam berada di wajah Anda?’ Dia menjawab, ‘Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, ‘Wahai Habib?’ Aku menjawab, ‘Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.’ Allah berfirman, ‘Lewatlah Kamu di atas neraka.’ Maka, aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku
berkata, ‘Aduh (karena sakitnya).’ Maka. Dia memanggilku, ‘Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).”

Hal tersebut sebagai gambaran bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

“Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka, aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata,
‘Apa ini?’ Kedua orang itu berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina.” (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis di ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Di dalam kitab Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a., keduanya berkata, Rasulullah saw. Berkhotbah, “Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barang siapa yang memandang seorang wanita (yang
tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barang siapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan dibelenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk
masuk ke dalam neraka. Dan, barang siapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda, dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa
seperti yang diterima oleh lelaki tersebut.”

‘Atha’ al-Khurasaniy berkata, “Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas, dan paling bisuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya.”

Dari Ghazwan ibn Jarir, dari ayahnya bahwa mereka berbicara kepada Ali ibn Abi Thalib mengenai beberapa perbuatan keji. Lantas Ali r.a. berkata kepada mereka, “Apakah kalian tahu perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Jalla Sya’nuhu?” Mereka berkata, “Wahai Amir al-Mukminin, semua bentuk zina adalah perbuatan keji di sisi Allah.” Ali r.a. berkata, “Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepada
kalian sebuah bentuk perbuatan zina yang paling keji di sisi Allah Tabaaraka wa Taala, yaitu seorang hamba berzina dengan istri tetangganya yang muslim. Dengan demikian, dia telah menjadi pezina dan merusak istri seorang lelaki muslim.” Kemudian, Ali r.a. berkata lagi, “Sesungguhnya akan dikirim kepada manusia
sebuah aroma bisuk pada hari kiamat, sehingga semua orang yang baik maupun orang yang buruk merasa tersiksa dengan bau tersebut. Bahkan, aroma itu melekat di setiap manusia, sehingga ada seseorang yang menyeru untuk memperdengarkan suaranya kepada semua manusia, “Apakah kalian tahu, bau apakah yang telah menyiksa penciuman kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, kami tidak mengetahuinya. Hanya saja yang paling mengherankan, bau tersebut sampai kepada masing-masing orang dari kita.” Lantas suara itu kembali terdengar, “Sesungguhnya itu adalah aroma alat kelamin para pezina yang menghadap Allah dengan membawa dosa zina dan belum sempat bertobat dari dosa tersebut.”

Bukankah banyak kejadian orang-orang yang berpacaran dan bercinta-cinta dengan orang yang telah berkeluarga? Jadi, pacaran tidak hanya mereka yang masih bujangan dan gadis, tetapi dari uisa akil balig hingga kakek nenek bisa berbuat seperti yang diancam oleh hukuman Allah tersebut di atas. Hanya saja, yang umum kelihatan melakukan pacaran adalah para remaja.

Namun, bukan berarti tidak ada solusi dalam Islam untuk berhubungan dengan nonmahram. Dalam Islam hubungan nonmahram ini diakomodasi dalam lembaga perkawinan melalui sistem khitbah/lamaran dan pernikahan.

“Hai golongan pemuda, siapa di antara kamu yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih memelihara kemaluan. Tetapi, siapa yang tidak mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat mengurangi syahwat.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darami).
Selain dua hal tersebut di atas, baik itu dinamakan hubungan teman, pergaulan laki perempuan tanpa perasaan, ataupun hubungan profesional, ataupun pacaran, ataupun pergaulan guru dan murid, bahkan pergaulan antar-tetangga yang melanggar aturan di atas adalah haram, meskipun Islam tidak mengingkari adanya rasa suka atau bahkan cinta. Anda bahkan diperbolehkan suka kepada laki-laki yang bukan
mahram, tetapi Anda diharamkan mengadakan hubungan terbuka dengan nonmahram tanpa mematuhi aturan di atas. Maka, hubungan atau jenis pergaulan yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda adalah haram. Kalau masih ingin juga, Anda harus ditemani kakak laki-laki ataupun mahram laki-laki Anda dan Anda harus berhijab dan berjilbab agar memenuhi aturan yang telah ditetapkan Islam.

Hidup di dunia yang singkat ini kita siapkan untuk memperoleh kemenangan di hari akhirat kelak. Oleh karena itu, marilah kita mulai hidup ini dengan bersungguh-sungguh dan jangan bermain-main. Kita berusaha dan berdoa mengharap pertolongan Allah agar diberi kekuatan untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Semoga Allah menolong kita, amin.

Adapun pertanyaan berikutnya kami jawab bahwa cara mengetahui sifat calon pasangan adalah bisa tanya secara langsung dengan memakai pendamping (penengah) yang mahram. Atau, bisa melalui perantara, baik itu dari keluarga atau saudara kita sendiri ataupun dari orang lain yang dapat dipercaya. Hal ini berlaku bagi
kedua belah pihak. Kemudian, bagi seorang laki-laki yang menyukai wanita yang hendak dinikahinya, sebelum dilangsungkan pernikahan, maka baginya diizinkan untuk melihat calon pasangannya untuk memantapkan hatinya dan agar tidak kecewa di kemudian hari.

“Apabila seseorang hendak meminang seorang wanita kemudian ia dapat melihat sebagian yang dikiranya dapat menarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).

Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan sebagai persiapan seorang muslim apabila hendak melangsungkan pernikahan.
 
1 Memilih calon pasangan yang tepat.
2. Diproses melalui musyawarah dengan orang tua.
3. Melakukan salat istikharah.
4. Mempersiapkan nafkah lahir dan batin.
5. Mempelajari petunjuk agama tentang pernikahan.
6. Membaca sirah nabawiyah, khususnya yang menyangkut rumah tangga Rasulullah saw.
7. Menyelesaikan persyaratan administratif sesui dengan peraturan daerah tempat tinggal.
8. Melakukan khitbah/pinangan.
9. Memperbanyak taqarrub kepada Allah supaya memperoleh kelancaran.
10. Mempersiapkan walimah.