Jumat, 29 April 2011

Shalat Jama' dan Qashar

MAKNA DAN HUKUM QASHAR
 
Oleh : Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadrami


Wahai para saudara/i ku yang di rahmati Allah,... pada kesempatan kali ini saya ingin berbagi tausiah yang Insya Allah bermanfaat sekali bagi kita semua. Mungkin kita terkadang menyepelekan akan perintah Allah akan sholat lima waktu saat kita sedang berpergian jauh. Bahkan tidak mendirikan sholat sama kali, dengan berbagai alasan seperti takut tertinggal kendaraan umum, repot, atau apa. tapi yang jelas tidak banyak orang yang tau tentang menjamak dan meng qashar sholat. Maka dari itu saya akan membagikan tausiah dari Ustadz Abdullah tentang pembahasan kali ini. MARI KITA SIMAK !!!!!
    Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).

Allah Ta’ala berfirman:
 “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.” (HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:  

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
       Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).

Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).

SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: “Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.
yaa.... itulah sedikit pembahasan tentang makna dan hukum Qashar, dan besok akan dilanjutkan tentang tata cara menjama' sholat. tetap menjadi pembaca setia SKI forums yaaa..... agar selalu bertamabah ilmu nya. amien. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar